Karya : Devia Dhewanti XI IPA 2
Tidak ada
setitikpun kebahagian sebelum mendapatkan setitik lubang hitam dalam kehidupan.
Bukankah sebelum mencapai puncak sebuah gunung akan ada lembah terjal yang
harus dilalui. Bukankah roda masa dunia ini terus berputar mengikuti poros
kehidupan. Ingatlah setelah hujan badai akan muncul cahaya indah menghiasi alam
ini. Terkadang kita lebih mengenali rasa
sakit, diacuhkan, dan rasa terhina dalam diri dibandingkan dengan menyadari juga memahami arti dari
kebahagian yang sesungguhnya. Mereka yang lebih mengenali pahitnya kehidupan
cenderung menunggu kebahagian yang mereka harapkan setelah melewati rasa sakit,
diacuhkan dan rasa terhina dalam dirinya sedangkan
mereka yang lebih menyadari arti kebahagian cenderung bersyukur atas kebahagiaan yang mereka dapatkan. Namun bagiku Kebahagian yang sesungguhnya itu sederhana cukup melihat kembali senyumanmu dalam hidupku. Dan disinilah kebahagianku yang sederhana MULAI hilang.
mereka yang lebih menyadari arti kebahagian cenderung bersyukur atas kebahagiaan yang mereka dapatkan. Namun bagiku Kebahagian yang sesungguhnya itu sederhana cukup melihat kembali senyumanmu dalam hidupku. Dan disinilah kebahagianku yang sederhana MULAI hilang.
Langit
gelap tanpa bintang seketika begitu
ramai dengan ledakan – ledakan keras kembang api berwarna – warni, malam sunyi
menjadi bising oleh terikan – teriakan terompet besar berjajar di sepanjang
jalan. Semua orang bersorak gembira menyambut tahun yang mungkin akan
mendatangkan keberuntungan seolah mereka lupa akan ramalan – ramalan buruk akan
tahun yang dinantikan, tahun dimana kebahagiaanku ikut lenyap terbakar ledakan keras
keramaian 2012. Kepulan asap bekas ledakan ramai kembang api menuju pada suatu
rumah tua sepi seakan tanpa penghuni milik keluarga sederhana yang sudah lama pindah
5 tahun yang lalu. Dibalik jendela rumah
yang berpetak – petak terlihat dua orang anak perempuan bertopang dagu menunggu
seseorang dalam lamunannya. Kedua matanya melihat keramaian langit malam tahun
baru seolah tesirat sebuah keinginan besar dalam lamunannya. kedua anak
perempuan itu tak lain adalah aku dan adikku.
Malam
semakin larut, ledakan – ledakan menghiasi langit semakin mengeras, aku dan
adikku masih tetap duduk dalam lamunan,
namun suara lembut dari seorang ibu muda penuh dengan kasih sayang terus memanggil kami, tak peduli apa yang beliau
katakan kami tetap duduk dalam penuh harapan, menunggu seorang pria tangguh
pujaan hati kami, seorang pria yang selalu ada untuk menemukan kebahagian hidup
kami, seorang pria yang menguatkan kami sekarang ini, pria yang akan selalu
kami sebut “AYAH”.
Dinginya malam seakan
menembus tembok rumah tua berwarna hijau itu, angin yang berhembus
menghilangkan kesadaran gadis kecil berambut pendek kurus tertidur kelelahan dipangkuan kakaknya yang
masih duduk menunggu seorang pria tercintanya. Namun waktu terus berlalu dan
rasa kantuk pada gadis yang sedag menunggu dalam lamunan tak bisa dihindari,
mereka tertidur membawa angan – angan pria yang tak kunjung datang malam itu
dalam mimpinya.
Terdengar
gemercik air di pagi hari namun teriakan burung – burung juga terdengar jelas
disamping rumah tua milik kami. Burung- burung liar itu sudah terbiasa menjadi
alarm pagi kami sebagai pengganti seekor ayam yang minggu kemarin kami potong
untuk dimakan minggu itu. Dalam mendungnya pagi aku terbangun kedinginan sambil
berjalan melihat keadaan luar, aku melihat sekarung penuh terompet menyilaukan
mata berada diatas sofa yang kami tiduri malam tadi. Sambil terus berjalan aku
melihat pria yang selaluku tunggu dalam hidupku sedang terbaring tertidur
kelelahan dengan selimut tebal berwarna hijau bermotif bunga hadiah dari
pernikahannya empatbelas tahun yang lalu, wajahnya tersorot cahaya mentari yang
mulai muncul diluar jendela kamar yang sedikit berdebu. Aku lanjutkan langkahku
mendekatinya namun kaki ini tiba – tiba terasa berat, ingin rasanya menyentuh
wajah kelelahan itu dan mencium keningnya dalam tidur nyeyaknya dan mengucap
satu kalimat “ Aku Sayang Ayah “. Saat melihat wajah kelelahannya aku teringat
minggu kemarin saat beliau tertidur diseblah tubuhku yang kecil, saat aku
membukakan mataku dan melihatnya tertidur pulas tepat disampingku rasanya ingin
sekali memeluknya namun aku tak sanggup tangan ini terasa berat, aku terlalu
malu, bahkan untuk mengucap kata “ Terima kasih “ pada dirinya sungguh sangat
sulit seakaan mulut ini terkunci begitu rapat.
“
mah, didepan banyak sekali terompet? Apa ayah yang bawakan?” tanyaku penasaran
pada seorang ibu yang sedang asik memainkan sikat kecil yang digosokan pada
secerca kain penuh dengan pasta sabun berwarna kuning.
“
iya, terompet itu ayah kamu yang bawa, katanya beli ditempat kerjanya!”. Jawab
halus ibuku yang paling mengetahui cerita – cerita ayahku.
Pria
yang kucintai saat ini bekerja disebuah proyek besar pembangunan sebuah pabrik industri
di daerah tempat tinggalku beliau memegang jabatan sebagai mandor proyek
disana, namun sebelumnya beliau bekerja di suatu pabrik kabel besar di daerah
yang sangat jauh dari rumah sebagai seorang penjaga keamanan yang sangat ulung
dalam bekerja dan sempat menjadi mekanik diparik industri tersebut, namun satu
tahun yang lalu ayahku memutuskan untuk mengakhiri pekerjaanya karena merasa
lelah dengan usia kerja satu dekade lebih. Dari kekosongan masa kerjanya pria
tangguh ini mengisinya dengan bekerja serabutan demi menafkahi keluarganya yang
sangat membutuhkanya.
Kehidupan
tidakakan selalu berjalan seperti apa yang diharapkan, untuk mencapai apa yang
kita harapkan, kita harus melewati tebing besar dan jalan curam didepan mata,
maka dari itu kita mengikuti jalannya kehidupan dan mencoba untuk
menghadapinya, walau itu mustahil, jangan niatkan perjuanganmu untuk dirimu
sendiri namun untuk seorang yang selalu ada disampingmu, menyemangatimu, dan
menerima semua keputusanmu, serta pikirkan seseorang yang sangat membutuhkanmu.
Mentari
enggan memperkenalkan diri, burung – burung di samping rumahpun tak kunjung
datang menyalamiku pada pagi gelap ini. namun aku tetap terbangun oleh kicauan
ibu muda berambut ikal pendek pemilik sebutan MAMAH dariku dan adikku. Air
didalam bak besar berbentuk bulat terlihat mengejekku untuk menjauihinya, lalu
aku tinggalkan air menyebalkan itu dan duduk diatas sofa coklat pekat yang
saling berhadapan. Entah badai apa yang terjadi semalam, pria tangguh berkulit
coklat berhidung mancung itu tak biasanya membuka mata sepagi ini. pria yang
aku cintai itu tepat berdiri dihadapanku lalu menatapku, pandangannya aneh
disamping kedua bola matanya agak merah dan nafasnya pelan tenang, bibirnya
yang hitam terlihat bergetar dan mulai membuka pembicaraan.
“ kemarin kamu dapat peringkat keberapa de?”.
Tanyanya sederhana namun sangat berbekas
“ 5!”. Hanya itu yang dapat ku katakan, karena
tak biasanya beliau bertanya langsung padaku.
“ kalau teman – teman kamu sih. Ada yang dapat
peringkat?”. Tanyanya kembali seolah ingin membandingkanku dengan orang lain.
“ ada.... ( menjelaskan dengan detail)....”.
jawabku menyeluruh ketakutan
“ persaingan itu wajar, kamu harus buktikan pada semua orang yang
mempercayaimu bahwa kamu ada dalam persaingan dan mencoba untuk berdiri diatas
puncak gunung, walaupun mungkin kamu tidak mencapai puncak gunung itu namun
kamu masih tetap ada di lembah gunung tersebut yang mungkin akan lebih baik
untukmu. Syukuri yang sudah terjadi dan tingkatkan kemampuanmu, yang akan
datang harus lebih dari ini, jangan terlalu puas dan bangga pada hasil kamu yang
sebelumnya ini persaingan baru ”. petuahnya yang selalu terngiang.
Petuah itu lah yang kini selalu membuatku
semangat dalam menggapai apa yang aku inginkan dan selalu mencoba lebih dari
sebelumnya, petuahnya bagaikan kobaran api yang akan selalu berkobar tak akan pernah padam membakar
semangat dalam jiwa ini, “kobaran api yang kau berikan adalah keberuntungan
bagiku”.
Setelah
api itu keluar dari mulut dan hatinya, kini candanya mulai nampak dari senyuman
jahilnya, pria pemilik kobaran api itu meminta dimanjakan dalam hari yang
dingin kali ini. beliau menunjukan kuku – kuku tebalnya yang mulai memanjang
tepat di depan kedua mata istrinya meminta untuk dipotong dan dibersihkan.
Helaian rambut putih di kepala pria pemilik kobaran api itu terlihat jelas,
istrinya yang baru saja selesai memotong kuku – kukunya yang tebal kini mulai
bersuara.
“ uban!! Hahaaa. ( tawanya )...”. berkata sang
istri sambil menunjuk rambut putih milik pria tangguh pemegang api .
“ masa sih? Wah berarti aku sudah tua ya, sekarang
ini aku ingin membersihkan diri biar kelihatan ganteng dan muda!”. Celotehnya
tanpa ragu
Hari ini sungguh
hari yang singkat bagiku, setelah melihat pria pemilik kobaran api membersihkan
dirinya lalu istri pemilik kobaran api yang sering kami sebut mamah menyiapkan
makan siang untuk hari ini, kami yang sudah siap duduk melingkar menunggu lauk
yang beliau simpan. Terlihat tangan halusnya memegang sebuah piring kecil
berwarna putih pucat dan menyimpannya di barisan paling tengah sebelah kanan
nasi hangat. Nampak disana 6 buah tahu kuning berwarna kecoklatan yang digoreng
lama. Aku dan pria api itu menghelakan nafas atas apa yang kami lihat di depan
mata kami yang kami harapkan sepotong paha dan sayap ayam. Namun kami tetap
bersyukur dan menghargai wanita yang kami cintai dan lanjut menghabiskan
bantalan kubus kuning itu dengan hati gembira, walaupun di atas piring kami
hanya setumpuk nasi putih hangat ditemani dengan tahu kuning kecoklataan yang
kering dan sepotong cabai rawit kecil berwarna hijau kami tetap memakannya dengan
lahap tanpa merasa kekurangan. Memang saat itu keluarga kami dalam keadaan
kritis setelah pengunduran diri yang dilakukan oleh pria tangguh itu, walaupun
setelahnya beliau kerja serabutan hanya tetap saja pengeluaran yang dibutuhkan
untuk hidup secara normal agak sulit. Kulihat wajah pria pemilik api dengan
sekilas dalam tiap gerakan mulutnya saat menguyah nasi yang disatukan dengan
tahu kuning kecoklatan sangat nampak perasaan terpaksa, namun beliau tetap
menghabiskan makanan ynag menumpuk dipiringnya sambil sesekali tersenyum pada
juru masak handal kami. Tak lama setelah itu piring berwarna putih pucat kini
tak berisi lagi, nasi yang tadinya hampir membentuk gunungan kini telah rata,
dan tahu – tahu yang menggoda kini sudah lenyap, sambil meneguk segelas air
putih pria pemilik senyuman memikat itu bergegas meninggalkan kami untuk
melanjutkan pekerjaannya lagi yang entah kapan akan berakhir.
Rasanya pagi ini
mentari tak malu lagi menunjukan cahaya hangatnya, namun entah mengapa udara
pagi ini tak sehangat cahaya mentari yang melintas diantara bilah – bilah
jendela tua menyoroti sepotong gambar pria tangguh yang terlihat memukau dengan
gaya berdirinya selalu dalam bayangan dan senyum lebar miliknya yang selalu ku
rindukan. Entah mengapa kaki ini menuntunku masuk kedalam ruangan yang sangat
ku benci di pagi hari, entah apa yang merasukiku pagi ini aku merasa sangat
bersahabat dengan kumpulan air dingin yang mulai mengajakku bermain meskipun
mataku masih sulit menerima kilauan memukau mentari pagi ini apalagi udara pagi
kali ini begitu berbanding terbalik
dengan si bulat yang mengkilat.
Kulihat wanita
muda yang terlihat rapuh sedang asik menyiapkan sebakul nasi putih yang masih
penuh dengan kepulan asap untuk sarapan pagi, dalam air mukanya tampak jelas
pria yang diperjuangkannya akan segera kembali. Setelah kami makan bersama dua
hari yang lalu pria yang kami tunggu itu tak kunjung pulang hal ini yang
membuat wanita muda disampingku selalu terbangun dimalam hari dan berjalan
lemah menuju depan jendela tua usang sambil mengawasi gelapnya malam dengan
wajah yang terlihat memendam kekhawatiran.
Teriakkan kencang
diluar rumah membuyarkan pikiranku tentang keresahanku bermain dengan air pada
pagi hari. Aku bersama wanita muda yang biasa ku panggil Mamah berlari menuju
sumber teriakkan yang menggangu itu. Pikiranku mulai kacau, teriakan kencang
yang membuatku khawatir dan mulai berpikir aneh, teriakan yang tak pantas ku
dengar kembali, teriakan yang merenggut senyum penantian wanita rapuh itu, ia
tiba – tiba meninggalkanku bersama nasi hangatnya yang masih penuh dengan asap
dan teriakan rusuh itu bermakna Ayahku sang pria tangguh mengalami kecelakan
saat ingin menemui sosok pencundang ini yang menunggu santai kehadirannya. Sungguh tak
pernah sebelumnya aku bepikiran aneh yang selaras dengan rasa tak wajar dalam
diri.
Aku duduk tepat dihadapan
nasi yang masih hangat dan menunggu kabar terbaru pria yang sangat aku cintai.
Tak lama seorang wanita paruh baya mendatangiku dan menyuruhku menyiapkan kain
dan bantalan kepala, sungguh perasaan dan pikiranku semakin aneh. Wanita paruh
baya itu adalah kakak dari ayahku yang kemudian memeluku dan menangis tanpa
henti membisikan kata “ Sabar ya nak, sabar!”. Perasaan dan pikiranku kini
mulai jelas, titik – titik kecil dalam pikiranku kini mulai menyatu membentuk
bola hitam besar yang seketika meledak. Sungguh aku sama sekali tidak
memikirkan keadaankku, alat indraku terasa kaku, pembuluh darahku mulai
tersedat, jantung ini mulai berhenti berdetak, saraf – saraf dalam tubuhpun
kini mulai putus. Bisikan itu yang membuat bola hitam dalam pikiranku
hancur,bisikan itu yang membuat diriku bisu. pikiranku kini tertuju pada wanita
rapuh yang selalu hadir dalam hidup kami, entah bagaimana ia menghadapi semua
ini.
Terdengar bunyi
mengiang kencang dari ambulance jenazah yang sama sekali tak ingin ku dengar, membawa
tubuh pria tangguhku yang kini tertutup kain putih tepat pada wajah yang selalu
tersenyum lebar di hadapanku. Tubuh gagah yang dulu berdiri tegak kini berbaring
lemah tak berdaya diselimuti kain putih yang diikat pada setiap ujung tubuhnya.
Rumah tua ini kini mulai ramai oleh tangisan orang – orang yang menyayangimu
atau mereka membutuhkanmu. Tangisan yang membuat hatiku bergetar dan mulai
kebingungan, aku duduk tepat dihadapanmu, melihatmu diam membisu, sungguh aku
masih tak percaya akan hal yang nyata didepan mataku, hingga aku mengamati
dadamu yang bidang yang tak kunjung bergerak mencoba memegangi kakimu yang
mulai terasa dingin, dan memandang kedua matamu yang kini tertutup rapat,
“percayalah aku tidak ingin meninggalkanmu sendiri dan membiarkanmu terkubur sia
– sia” bisikku dalam harap.
Tangisan kencang kehilangan dari
wanita tua mulai menggoyahkan hati dan pikiranku, wanita tua itu kini mulai
menjerit – jerit sambil menendang – nendang kaki keriputnya di atas lantai
putih pucat disamping tubuh anak yang dibanggakannya. Hati ini mulai terusik
akan tangisan – tangisan kehilangan, namun tidak setetes pun air mata yang
berani ku tumpahkan, diri ini seolah melarangku mengeluarkan keringat mata yang
membuat mereka iba ataukah rasa tak percayaku yang kuat yang menghentikan
derasnya air mata. Ku berjalan meninggalkan tubuh lemah pencipta tangisan, aku
mencoba menghampiri wanita rapuh yang duduk menyandar lemah, tangisannya lembut
namun menyayat, air matanya begitu deras dan kata yang selalu terucap dari
mulut terjaganya hanya “MAAF”, sungguh aku tidak mengerti hal apa yang
membuatnya terus mengatakan kata tersebut. Wanita yang ku kira rapuh ternyata
sangat tangguh, sungguh aku tidak mendengar jeritan – jeritan aneh dari
mulutnya, tangisnya teratur namun begitu membunuh rasaku.
“lihatlah wanita yang selalu kita
lindung! Meringis kesakitan! Ayo, bangun! Bangun demi wanita yang selalu kita
jaga hatinya. Buka matamu dan lihat wanita tua yang menangis mejerit tanpa
henti, gadis kecil yang begitu kita sayangi mulai mengerti tangisan
disekitarnya, lihatlah! Mereka meneteskan air mata untuk dirimu! Bangun!
Bangun! Lihatlah diriku yang masih membutuhkanmu! Kumohon buka matamu! Jika
diammu ini karena kau tak mampu menghadapi dunia maka bangunlah aku akan
membantumu! Bangun dan teriaklah lepaskan ketidak mampuanmu! Ku mohon bangun walau
untuk satu menit saja, bicaralah padaku apa yang kau mau dan kenapa kau tega
meninggalkan kami? Bangunlah!! Aku membutuhkan senyumanmu!”. Jeritanku dalam
diam sambil memandangi wajah yang tertutup kain putih.
Pikiranku mulai berlari kesana kemari
mencari jati diri si pria tangguh pemegang api itu, dalam gelapnya pikiranku
sanubari mulai berkata hal aneh dan sedikit rasa kekecewaan yang saling berpadu
dalam tangisan diamku. Hingga sampailah saat dimana aku tidak bisa menerimanya,
saat dimana jiwa ini mulai melawan tubuh, saat dimana pria tangguhku harus
dikubur dalam gelapnya tanah pemakaman yang tak terpikir sebelumnya. Awan
mendung menggantung di atas langit hitam yang hampir menyentuh tanah pemakaman,
tubuhmu yang tak kunjung bangun terbaring diatas keranda bertutupkan kain hijau
tua yang menakutkan. Setelah puas berjalan – jalan dalam keranda kini tubuhmu
yang gagah mulai dimasukan kedalam liang lahat yang terlihat asing, sungguh
masih tidak ada setetes air matapun yang mampu ku jatuhkan, hanya diam yang
dapat ku lakukan. Tubuhmu kini mulai terkubur sepenuhnya bersama senyum lebar
yang tak akan pernah ku lihat kembali dalam hidupku serta kobaran api dalam
jiwanya yang mulai redam oleh tanah basah yang kini dihuninya, kini yang
tersisa hanya kenangan dan bayangan tentang dirimu di dalam kepalaku, tanggung
jawabmu yang dialihkan kepada diriku juga setitik api panas yang selalu
membakar semangat cita ku ini.
Setitik gerimis jatuh dari langit yang
bersedih di ikuti pasukan hujan menampar wajah diamku, sulit rasanya
meninggalkan gundukan tanah penuh bunga bernisan kayu di depan mata ini.
bukankah semua makhluk hidup di dunia ini akan mengalami dan berakhir pada
kematian namun tetap saja diri ini masih tak percaya atas segala yang telah
terjadi, walaupun dengan berat hati aku meninggalkanmu dalam kegelapan hunianmu
sekarang aku tetap ada disampingmu untuk mendo’akanmu dalam setiap sujudku pada
–Nya. Percayalah dirimu terkubur dengan tidak sia – sia, karena masih ada aku
yang akan selalu menghidupkan setitik api yang kau berikan padaku dan tak akan
pernah padam walau tersiram gelombang samudra sekalipun.
Rembulan bersembunyi dibalik awan
hitam yang bergerombol menjajahi gelapnya langit sisa hujan sore tadi. Ku
kembali bertopang dagu dibalik jendela tua usang terlihat buram dipenuhi bintik
– bintik tamparan hujan yang mulai menguap. Kini dalam lamunanku bukan lagi
menunggu pria tangguhku kembali pulang namun dalam lamunanku hanya terlintas
senyuman lebar pria tangguh pemegang kobaran api yang membara, hingga tak terasa
mata ini mulai berkeringat dan pikiranku mulai jernih kembali, kini aku tidak
dapat mengharapkan kehadiranmu kembali untuk pulang dan melihat senyuman lebar
penambah energi dari wajahmu kembali hadir, dan kebahagianku yang sederhanapun
TELAH hilang!.
Selamat berkarya Nanda Devia Dh, moga jadi penulis terkenal.aamiiin
BalasHapustrimaksih pak! udah diposting lgi! hehe
BalasHapus