tag

Kamis, 07 April 2016

Senyuman Api



Karya : Devia Dhewanti XI IPA 2
Tidak ada setitikpun kebahagian sebelum mendapatkan setitik lubang hitam dalam kehidupan. Bukankah sebelum mencapai puncak sebuah gunung akan ada lembah terjal yang harus dilalui. Bukankah roda masa dunia ini terus berputar mengikuti poros kehidupan. Ingatlah setelah hujan badai akan muncul cahaya indah menghiasi alam ini.  Terkadang kita lebih mengenali rasa sakit, diacuhkan, dan rasa terhina dalam diri dibandingkan  dengan menyadari juga memahami arti dari kebahagian yang sesungguhnya. Mereka yang lebih mengenali pahitnya kehidupan cenderung menunggu kebahagian yang mereka harapkan setelah melewati rasa sakit, diacuhkan dan rasa terhina dalam dirinya sedangkan
mereka yang lebih menyadari arti kebahagian cenderung bersyukur atas kebahagiaan yang mereka dapatkan. Namun bagiku Kebahagian yang sesungguhnya itu sederhana cukup melihat kembali senyumanmu dalam hidupku. Dan disinilah kebahagianku yang sederhana  MULAI hilang.
          Langit gelap tanpa bintang  seketika begitu ramai dengan ledakan – ledakan keras kembang api berwarna – warni, malam sunyi menjadi bising oleh terikan – teriakan terompet besar berjajar di sepanjang jalan. Semua orang bersorak gembira menyambut tahun yang mungkin akan mendatangkan keberuntungan seolah mereka lupa akan ramalan – ramalan buruk akan tahun yang dinantikan, tahun dimana kebahagiaanku ikut lenyap terbakar ledakan keras keramaian 2012. Kepulan asap bekas ledakan ramai kembang api menuju pada suatu rumah tua sepi seakan tanpa penghuni milik keluarga sederhana yang sudah lama pindah 5 tahun yang lalu. Dibalik  jendela rumah yang berpetak – petak terlihat dua orang anak perempuan bertopang dagu menunggu seseorang dalam lamunannya. Kedua matanya melihat keramaian langit malam tahun baru seolah tesirat sebuah keinginan besar dalam lamunannya. kedua anak perempuan itu tak lain adalah aku dan adikku.
          Malam semakin larut, ledakan – ledakan menghiasi langit semakin mengeras, aku dan adikku masih tetap  duduk dalam lamunan, namun suara lembut dari seorang ibu muda penuh dengan kasih sayang  terus memanggil kami, tak peduli apa yang beliau katakan kami tetap duduk dalam penuh harapan, menunggu seorang pria tangguh pujaan hati kami, seorang pria yang selalu ada untuk menemukan kebahagian hidup kami, seorang pria yang menguatkan kami sekarang ini, pria yang akan selalu kami sebut “AYAH”.
Dinginya malam seakan menembus tembok rumah tua berwarna hijau itu, angin yang berhembus menghilangkan kesadaran gadis kecil berambut pendek kurus  tertidur kelelahan dipangkuan kakaknya yang masih duduk menunggu seorang pria tercintanya. Namun waktu terus berlalu dan rasa kantuk pada gadis yang sedag menunggu dalam lamunan tak bisa dihindari, mereka tertidur membawa angan – angan pria yang tak kunjung datang malam itu dalam mimpinya. 
          Terdengar gemercik air di pagi hari namun teriakan burung – burung juga terdengar jelas disamping rumah tua milik kami. Burung- burung liar itu sudah terbiasa menjadi alarm pagi kami sebagai pengganti seekor ayam yang minggu kemarin kami potong untuk dimakan minggu itu. Dalam mendungnya pagi aku terbangun kedinginan sambil berjalan melihat keadaan luar, aku melihat sekarung penuh terompet menyilaukan mata berada diatas sofa yang kami tiduri malam tadi. Sambil terus berjalan aku melihat pria yang selaluku tunggu dalam hidupku sedang terbaring tertidur kelelahan dengan selimut tebal berwarna hijau bermotif bunga hadiah dari pernikahannya empatbelas tahun yang lalu, wajahnya tersorot cahaya mentari yang mulai muncul diluar jendela kamar yang sedikit berdebu. Aku lanjutkan langkahku mendekatinya namun kaki ini tiba – tiba terasa berat, ingin rasanya menyentuh wajah kelelahan itu dan mencium keningnya dalam tidur nyeyaknya dan mengucap satu kalimat “ Aku Sayang Ayah “. Saat melihat wajah kelelahannya aku teringat minggu kemarin saat beliau tertidur diseblah tubuhku yang kecil, saat aku membukakan mataku dan melihatnya tertidur pulas tepat disampingku rasanya ingin sekali memeluknya namun aku tak sanggup tangan ini terasa berat, aku terlalu malu, bahkan untuk mengucap kata “ Terima kasih “ pada dirinya sungguh sangat sulit seakaan mulut ini terkunci begitu rapat. 
          “ mah, didepan banyak sekali terompet? Apa ayah yang bawakan?” tanyaku penasaran pada seorang ibu yang sedang asik memainkan sikat kecil yang digosokan pada secerca kain penuh dengan pasta sabun berwarna kuning.
          “ iya, terompet itu ayah kamu yang bawa, katanya beli ditempat kerjanya!”. Jawab halus ibuku yang paling mengetahui cerita – cerita ayahku.
          Pria yang kucintai saat ini bekerja disebuah proyek besar pembangunan sebuah pabrik industri di daerah tempat tinggalku beliau memegang jabatan sebagai mandor proyek disana, namun sebelumnya beliau bekerja di suatu pabrik kabel besar di daerah yang sangat jauh dari rumah sebagai seorang penjaga keamanan yang sangat ulung dalam bekerja dan sempat menjadi mekanik diparik industri tersebut, namun satu tahun yang lalu ayahku memutuskan untuk mengakhiri pekerjaanya karena merasa lelah dengan usia kerja satu dekade lebih. Dari kekosongan masa kerjanya pria tangguh ini mengisinya dengan bekerja serabutan demi menafkahi keluarganya yang sangat membutuhkanya.
          Kehidupan tidakakan selalu berjalan seperti apa yang diharapkan, untuk mencapai apa yang kita harapkan, kita harus melewati tebing besar dan jalan curam didepan mata, maka dari itu kita mengikuti jalannya kehidupan dan mencoba untuk menghadapinya, walau itu mustahil, jangan niatkan perjuanganmu untuk dirimu sendiri namun untuk seorang yang selalu ada disampingmu, menyemangatimu, dan menerima semua keputusanmu, serta pikirkan seseorang yang sangat membutuhkanmu.
          Mentari enggan memperkenalkan diri, burung – burung di samping rumahpun tak kunjung datang menyalamiku pada pagi gelap ini. namun aku tetap terbangun oleh kicauan ibu muda berambut ikal pendek pemilik sebutan MAMAH dariku dan adikku. Air didalam bak besar berbentuk bulat terlihat mengejekku untuk menjauihinya, lalu aku tinggalkan air menyebalkan itu dan duduk diatas sofa coklat pekat yang saling berhadapan. Entah badai apa yang terjadi semalam, pria tangguh berkulit coklat berhidung mancung itu tak biasanya membuka mata sepagi ini. pria yang aku cintai itu tepat berdiri dihadapanku lalu menatapku, pandangannya aneh disamping kedua bola matanya agak merah dan nafasnya pelan tenang, bibirnya yang hitam terlihat bergetar dan mulai membuka pembicaraan.
“ kemarin kamu dapat peringkat keberapa de?”. Tanyanya sederhana namun sangat berbekas
“ 5!”. Hanya itu yang dapat ku katakan, karena tak biasanya beliau bertanya langsung padaku.
“ kalau teman – teman kamu sih. Ada yang dapat peringkat?”. Tanyanya kembali seolah ingin membandingkanku dengan orang lain.
“ ada.... ( menjelaskan dengan detail)....”. jawabku menyeluruh ketakutan
“ persaingan itu wajar, kamu  harus buktikan pada semua orang yang mempercayaimu bahwa kamu ada dalam persaingan dan mencoba untuk berdiri diatas puncak gunung, walaupun mungkin kamu tidak mencapai puncak gunung itu namun kamu masih tetap ada di lembah gunung tersebut yang mungkin akan lebih baik untukmu. Syukuri yang sudah terjadi dan tingkatkan kemampuanmu, yang akan datang harus lebih dari ini, jangan terlalu puas dan bangga pada hasil kamu yang sebelumnya ini persaingan baru ”. petuahnya yang selalu terngiang.
Petuah itu lah yang kini selalu membuatku semangat dalam menggapai apa yang aku inginkan dan selalu mencoba lebih dari sebelumnya, petuahnya bagaikan kobaran api yang akan selalu  berkobar tak akan pernah padam membakar semangat dalam jiwa ini, “kobaran api yang kau berikan adalah keberuntungan bagiku”.
          Setelah api itu keluar dari mulut dan hatinya, kini candanya mulai nampak dari senyuman jahilnya, pria pemilik kobaran api itu meminta dimanjakan dalam hari yang dingin kali ini. beliau menunjukan kuku – kuku tebalnya yang mulai memanjang tepat di depan kedua mata istrinya meminta untuk dipotong dan dibersihkan. Helaian rambut putih di kepala pria pemilik kobaran api itu terlihat jelas, istrinya yang baru saja selesai memotong kuku – kukunya yang tebal kini mulai bersuara.
“ uban!! Hahaaa. ( tawanya )...”. berkata sang istri sambil menunjuk rambut putih milik pria tangguh pemegang api .
“ masa sih? Wah berarti aku sudah tua ya, sekarang ini aku ingin membersihkan diri biar kelihatan ganteng dan muda!”. Celotehnya tanpa ragu
Hari ini sungguh hari yang singkat bagiku, setelah melihat pria pemilik kobaran api membersihkan dirinya lalu istri pemilik kobaran api yang sering kami sebut mamah menyiapkan makan siang untuk hari ini, kami yang sudah siap duduk melingkar menunggu lauk yang beliau simpan. Terlihat tangan halusnya memegang sebuah piring kecil berwarna putih pucat dan menyimpannya di barisan paling tengah sebelah kanan nasi hangat. Nampak disana 6 buah tahu kuning berwarna kecoklatan yang digoreng lama. Aku dan pria api itu menghelakan nafas atas apa yang kami lihat di depan mata kami yang kami harapkan sepotong paha dan sayap ayam. Namun kami tetap bersyukur dan menghargai wanita yang kami cintai dan lanjut menghabiskan bantalan kubus kuning itu dengan hati gembira, walaupun di atas piring kami hanya setumpuk nasi putih hangat ditemani dengan tahu kuning kecoklataan yang kering dan sepotong cabai rawit kecil berwarna hijau kami tetap memakannya dengan lahap tanpa merasa kekurangan. Memang saat itu keluarga kami dalam keadaan kritis setelah pengunduran diri yang dilakukan oleh pria tangguh itu, walaupun setelahnya beliau kerja serabutan hanya tetap saja pengeluaran yang dibutuhkan untuk hidup secara normal agak sulit. Kulihat wajah pria pemilik api dengan sekilas dalam tiap gerakan mulutnya saat menguyah nasi yang disatukan dengan tahu kuning kecoklatan sangat nampak perasaan terpaksa, namun beliau tetap menghabiskan makanan ynag menumpuk dipiringnya sambil sesekali tersenyum pada juru masak handal kami. Tak lama setelah itu piring berwarna putih pucat kini tak berisi lagi, nasi yang tadinya hampir membentuk gunungan kini telah rata, dan tahu – tahu yang menggoda kini sudah lenyap, sambil meneguk segelas air putih pria pemilik senyuman memikat itu bergegas meninggalkan kami untuk melanjutkan pekerjaannya lagi yang entah kapan akan berakhir.
Rasanya pagi ini mentari tak malu lagi menunjukan cahaya hangatnya, namun entah mengapa udara pagi ini tak sehangat cahaya mentari yang melintas diantara bilah – bilah jendela tua menyoroti sepotong gambar pria tangguh yang terlihat memukau dengan gaya berdirinya selalu dalam bayangan dan senyum lebar miliknya yang selalu ku rindukan. Entah mengapa kaki ini menuntunku masuk kedalam ruangan yang sangat ku benci di pagi hari, entah apa yang merasukiku pagi ini aku merasa sangat bersahabat dengan kumpulan air dingin yang mulai mengajakku bermain meskipun mataku masih sulit menerima kilauan memukau mentari pagi ini apalagi udara pagi kali ini begitu berbanding  terbalik dengan si bulat yang mengkilat.
Kulihat wanita muda yang terlihat rapuh sedang asik menyiapkan sebakul nasi putih yang masih penuh dengan kepulan asap untuk sarapan pagi, dalam air mukanya tampak jelas pria yang diperjuangkannya akan segera kembali. Setelah kami makan bersama dua hari yang lalu pria yang kami tunggu itu tak kunjung pulang hal ini yang membuat wanita muda disampingku selalu terbangun dimalam hari dan berjalan lemah menuju depan jendela tua usang sambil mengawasi gelapnya malam dengan wajah yang terlihat memendam kekhawatiran.
Teriakkan kencang diluar rumah membuyarkan pikiranku tentang keresahanku bermain dengan air pada pagi hari. Aku bersama wanita muda yang biasa ku panggil Mamah berlari menuju sumber teriakkan yang menggangu itu. Pikiranku mulai kacau, teriakan kencang yang membuatku khawatir dan mulai berpikir aneh, teriakan yang tak pantas ku dengar kembali, teriakan yang merenggut senyum penantian wanita rapuh itu, ia tiba – tiba meninggalkanku bersama nasi hangatnya yang masih penuh dengan asap dan teriakan rusuh itu bermakna Ayahku sang pria tangguh mengalami kecelakan saat ingin menemui sosok pencundang ini  yang menunggu santai kehadirannya. Sungguh tak pernah sebelumnya aku bepikiran aneh yang selaras dengan rasa tak wajar dalam diri.
Aku duduk tepat dihadapan nasi yang masih hangat dan menunggu kabar terbaru pria yang sangat aku cintai. Tak lama seorang wanita paruh baya mendatangiku dan menyuruhku menyiapkan kain dan bantalan kepala, sungguh perasaan dan pikiranku semakin aneh. Wanita paruh baya itu adalah kakak dari ayahku yang kemudian memeluku dan menangis tanpa henti membisikan kata “ Sabar ya nak, sabar!”. Perasaan dan pikiranku kini mulai jelas, titik – titik kecil dalam pikiranku kini mulai menyatu membentuk bola hitam besar yang seketika meledak. Sungguh aku sama sekali tidak memikirkan keadaankku, alat indraku terasa kaku, pembuluh darahku mulai tersedat, jantung ini mulai berhenti berdetak, saraf – saraf dalam tubuhpun kini mulai putus. Bisikan itu yang membuat bola hitam dalam pikiranku hancur,bisikan itu yang membuat diriku bisu. pikiranku kini tertuju pada wanita rapuh yang selalu hadir dalam hidup kami, entah bagaimana ia menghadapi semua ini.
Terdengar bunyi mengiang kencang dari ambulance jenazah yang sama sekali tak ingin ku dengar, membawa tubuh pria tangguhku yang kini tertutup kain putih tepat pada wajah yang selalu tersenyum lebar di hadapanku. Tubuh gagah yang dulu berdiri tegak kini berbaring lemah tak berdaya diselimuti kain putih yang diikat pada setiap ujung tubuhnya. Rumah tua ini kini mulai ramai oleh tangisan orang – orang yang menyayangimu atau mereka membutuhkanmu. Tangisan yang membuat hatiku bergetar dan mulai kebingungan, aku duduk tepat dihadapanmu, melihatmu diam membisu, sungguh aku masih tak percaya akan hal yang nyata didepan mataku, hingga aku mengamati dadamu yang bidang yang tak kunjung bergerak mencoba memegangi kakimu yang mulai terasa dingin, dan memandang kedua matamu yang kini tertutup rapat, “percayalah aku tidak ingin meninggalkanmu sendiri dan membiarkanmu terkubur sia – sia” bisikku dalam harap.
Tangisan kencang kehilangan dari wanita tua mulai menggoyahkan hati dan pikiranku, wanita tua itu kini mulai menjerit – jerit sambil menendang – nendang kaki keriputnya di atas lantai putih pucat disamping tubuh anak yang dibanggakannya. Hati ini mulai terusik akan tangisan – tangisan kehilangan, namun tidak setetes pun air mata yang berani ku tumpahkan, diri ini seolah melarangku mengeluarkan keringat mata yang membuat mereka iba ataukah rasa tak percayaku yang kuat yang menghentikan derasnya air mata. Ku berjalan meninggalkan tubuh lemah pencipta tangisan, aku mencoba menghampiri wanita rapuh yang duduk menyandar lemah, tangisannya lembut namun menyayat, air matanya begitu deras dan kata yang selalu terucap dari mulut terjaganya hanya “MAAF”, sungguh aku tidak mengerti hal apa yang membuatnya terus mengatakan kata tersebut. Wanita yang ku kira rapuh ternyata sangat tangguh, sungguh aku tidak mendengar jeritan – jeritan aneh dari mulutnya, tangisnya teratur namun begitu membunuh rasaku.
“lihatlah wanita yang selalu kita lindung! Meringis kesakitan! Ayo, bangun! Bangun demi wanita yang selalu kita jaga hatinya. Buka matamu dan lihat wanita tua yang menangis mejerit tanpa henti, gadis kecil yang begitu kita sayangi mulai mengerti tangisan disekitarnya, lihatlah! Mereka meneteskan air mata untuk dirimu! Bangun! Bangun! Lihatlah diriku yang masih membutuhkanmu! Kumohon buka matamu! Jika diammu ini karena kau tak mampu menghadapi dunia maka bangunlah aku akan membantumu! Bangun dan teriaklah lepaskan ketidak mampuanmu! Ku mohon bangun walau untuk satu menit saja, bicaralah padaku apa yang kau mau dan kenapa kau tega meninggalkan kami? Bangunlah!! Aku membutuhkan senyumanmu!”. Jeritanku dalam diam sambil memandangi wajah yang tertutup kain putih.
Pikiranku mulai berlari kesana kemari mencari jati diri si pria tangguh pemegang api itu, dalam gelapnya pikiranku sanubari mulai berkata hal aneh dan sedikit rasa kekecewaan yang saling berpadu dalam tangisan diamku. Hingga sampailah saat dimana aku tidak bisa menerimanya, saat dimana jiwa ini mulai melawan tubuh, saat dimana pria tangguhku harus dikubur dalam gelapnya tanah pemakaman yang tak terpikir sebelumnya. Awan mendung menggantung di atas langit hitam yang hampir menyentuh tanah pemakaman, tubuhmu yang tak kunjung bangun terbaring diatas keranda bertutupkan kain hijau tua yang menakutkan. Setelah puas berjalan – jalan dalam keranda kini tubuhmu yang gagah mulai dimasukan kedalam liang lahat yang terlihat asing, sungguh masih tidak ada setetes air matapun yang mampu ku jatuhkan, hanya diam yang dapat ku lakukan. Tubuhmu kini mulai terkubur sepenuhnya bersama senyum lebar yang tak akan pernah ku lihat kembali dalam hidupku serta kobaran api dalam jiwanya yang mulai redam oleh tanah basah yang kini dihuninya, kini yang tersisa hanya kenangan dan bayangan tentang dirimu di dalam kepalaku, tanggung jawabmu yang dialihkan kepada diriku juga setitik api panas yang selalu membakar semangat cita ku ini.
Setitik gerimis jatuh dari langit yang bersedih di ikuti pasukan hujan menampar wajah diamku, sulit rasanya meninggalkan gundukan tanah penuh bunga bernisan kayu di depan mata ini. bukankah semua makhluk hidup di dunia ini akan mengalami dan berakhir pada kematian namun tetap saja diri ini masih tak percaya atas segala yang telah terjadi, walaupun dengan berat hati aku meninggalkanmu dalam kegelapan hunianmu sekarang aku tetap ada disampingmu untuk mendo’akanmu dalam setiap sujudku pada –Nya. Percayalah dirimu terkubur dengan tidak sia – sia, karena masih ada aku yang akan selalu menghidupkan setitik api yang kau berikan padaku dan tak akan pernah padam walau tersiram gelombang samudra sekalipun.
Rembulan bersembunyi dibalik awan hitam yang bergerombol menjajahi gelapnya langit sisa hujan sore tadi. Ku kembali bertopang dagu dibalik jendela tua usang terlihat buram dipenuhi bintik – bintik tamparan hujan yang mulai menguap. Kini dalam lamunanku bukan lagi menunggu pria tangguhku kembali pulang namun dalam lamunanku hanya terlintas senyuman lebar pria tangguh pemegang kobaran api yang membara, hingga tak terasa mata ini mulai berkeringat dan pikiranku mulai jernih kembali, kini aku tidak dapat mengharapkan kehadiranmu kembali untuk pulang dan melihat senyuman lebar penambah energi dari wajahmu kembali hadir, dan kebahagianku yang sederhanapun TELAH hilang!.

2 komentar:

  1. Selamat berkarya Nanda Devia Dh, moga jadi penulis terkenal.aamiiin

    BalasHapus
  2. trimaksih pak! udah diposting lgi! hehe

    BalasHapus